464 hektar tanah milik negara dicaplok mafia tanah di Deli Serdang, Sumatera Utara. Hal ini diungkapkan oleh Menkopolhukam Mahfud MD. Dia mengatakan pihaknya tengah mengusut temuan tanah PTPN II di Deli Serdang, Sumatera Utara, yang diduga dicaplok mafia tanah.
Sekitar 464 hektar tanah milik negara dimenangkan oleh warga di pengadilan, padahal sejak awal tanah tersebut diketahui adalah milik PTPN II.
Bedah temuan tersebut dilakukan Mahfud bersama Jampidum Dr. Fadil Zumhana, Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara Idianto, hingga akademisi universitas.
“Kami bedah kasus atas putusan pengadilan mengenai tanah negara di Tanjung Morawa, Sumut seluas 464 hektar itu aslinya milik PTPN II, tiba-tiba di pengadilan dikalahkan dalam kasus perdata,” ujar Mahfud, Selasa (18/7).
“Kita baru tahu 2019, sesudah para penggugat berjumlah 234 orang itu minta eksekusi. Ketika dia minta eksekusi barulah kita nanya ke BPN bahwa tanah itu sejak dulu milik PTPN. Dan belum pernah ada perubahan, kok tiba-tiba menang di pengadilan?” imbuhnya.
Menurut hasil temuan, 234 penggugat diduga menggunakan surat keterangan palsu terkait kepemilikan tanah hingga bisa menang di pengadilan. Ini terlihat dari keanehan tanda tangan pelimpahan lahan, hingga penulisan nama Tanjung Merawa.
“Kita menolak dulu eksekusi karena menemukan indikasi tindak pidana. Para penggugat itu diduga kuat menggunakan surat keterangan palsu, antara lain karena surat keterangan kepemilikan itu, kepemilikan atas nama orang yang menumpang di atas tanah PTPN HGU resmi,” ungkap dia.
“Itu surat keterangan kepemilikannya atau pelimpahan dan pemberian lahannya itu dibuat tahun 53. Dan di situ ada keanehan. Satu, tanda tangan pemberi pelimpahan tanah itu yang atas nama gubernur itu tidak identik. Yang satu miring ke kiri, yang satu miring ke kanan,” tambahnya.
Dari segi penulisan, ditemukan ejaan yang aneh sebab Tanjung Morawa pada tahun 1953 tertulis Tandjoeng Murawa. Namun dalam surat keterangan yang diduga palsu itu, ditulis Tanjung dengan ejaan baru.
“Tanjung yang dikenal ejaan sudah tahun 73, ejaan yang disempurnakan. Itu sangat jauh. Dan di depan pengadilan, para saksi atau terdakwa sekali pun mengakui bahwa dia tidak pernah punya tanah itu, tidak pernah melihat aslinya. Katanya, hanya dibisiki oleh temannya,” terang dia.
“Dan para penggugat pun merasa tidak tahu tanah itu di mana, yang 234 orang itu tidak tahu tanahnya di mana, dia tahu apa tidak. Sehingga kita terus merasa ini harus dipersoalkan sampai final ke putusan pengadilan di tingkat kasasi untuk menyelematkan harta negara,” ujar Mahfud.
Mahfud mengungkap pesan Presiden Jokowi, jika negara punya kewajiban utang kepada warga negara, maka berdasarkan keputusan inkrah pengadilan negara wajib membayar. Tetapi harus dipastikan apakah ada temuan pelanggaran hukum atas gugatan masyarakat.
“Karena hukum pidananya belum inkrah, kita melakukan bedah kasus dan memang ada kejanggalan yang nanti akan disampaikan dan telah sebagiannya disampaikan di dalam memori kasasi. Kami menduga berdasar temuan-temuan surat perjanjian yang di situ memang ada sponsornya yaitu pebisnis perusahaan,” papar dia.
“Yang menjanjikan kalau anda (penggugat) menang, nanti masing-masing orang yang dianggap punya tanah, 234 orang itu, padahal dia tidak tahu tanahnya di mana, akan dikasih masing-masing Rp 1,5 miliar. Nah, ini nanti kita sampaikan ke Mahkamah Agung,”
Mahfud menerangkan dugaan ini berdasarkan bukti di lapangan. Adapun terkait pihak yang sudah terindikasi pidana pelmasuan surat kepemilikan bernama Murachman.
“Iya, ada buktinya ini, bahwa dia akan diberi uang sekian kalau nanti sudah menang. [Kasus pidana] namanya Murachman, dia dulu yang mengaku punya tanah itu, dengan menggunakan surat pelimpahan dan sebagainya dan setelah diperiksa itu tadi,” kata dia.
“Murachman mengaku ‘tidak tahu kalau ayah saya punya tanah, tapi saya diberitahu oleh teman, bahwa itu dulu punya ayah saya’, itu di pengadilan,” tandas dia.
Saat ini, pemerintah menunggu putusan kasasi atas masalah tersebut.
“Pemerintah harus berupaya semaksimal mungkin dalam upaya hukum kasasi terkait proses hukum pidana, karena apabila tindak pidana pemalsuan surat (Surat Keterangan Tentang Pembagian Dan Penerimaan Tanah Sawah/Ladang) terbukti, akan menjadi novum yang diharapkan dapat mengubah putusan dalam proses hukum perdata,” ucap Mahfud.